Sastra
Arab, sebagai entitas budaya, sudah tentu mencerminkan pikiran dan perasaan
bangsa Arab dengan segala kelebihan dan kekuranganya. Dalam konteks kelebihan
bangsa Arab, maka tidak ada pencapaian kebudayaan dan peradaban manusia yang
mampu menunjukkan nilai-nilainya yang paling otentik dan khas kecuali apa yang
telah dicapai oleh kesusastraan Arab. Puisi adalah diantara bentuk-bentuk dominan
karya bangsa Arab dan secara spesifik yang membedakannya dengan bangsa lain.
Prosa atau dalam
istilah arab disebut natsr- (النثر) merupakan ungkapan atau
tulisan yang disusun dalam bentuk cerita bebas yang tidak sama dengan syi’ir,
ia tidak terkait dengan wazan atau qafiah.
Dalam banyak
literatur sastra Arab, orasi, pribahasa, surat-surat kenegaraan dan pribadi
(terutama surat-surat masa klasik), pribahasa, dan kata-kata mutiara (hikmah)
memang dikategorikan sebagai prosa sastra.
Sebagian para
ahli sastra Arab berpendapat bahwa timbulnya natsr lebih dahulu daripada
timbulnya syi’ir, sebab prosa tidak terikat oleh sajak dan irama. Prosa itu
bebas bagaikan derasnya air. Sedangkan timbulnya syi’ir sangat erat hubungannya
dengan kemajuan manusia dalam cara berpikir. Sehingga mereka berpendapat bahwa
manusia baru dapat mengenal bentuk-bentuk syi’ir setelah mencapai dalam
kemajuan dalam bidang bahasa. Terdapat dua jenis natsr yaitu:
1.
Natsr ghoiri fanni
2.
Natsr fanni.
Natsr ghoiru
fanni merupakan ungkapan prosa yang keluar
dari lisan orang arab baik ketika terjadi percakapan maupun ketika melakukan
orasi (khutbah), yang mereka lakukan secara spontan. Sedangkan natsr fanni
adalah prosa yang diungkapkan dengan keindahan nilai-nilai sastra yang membekas
kedalam jiwa dan perasaan dalam hal ini kata-kata mutiara (hikmah).
Dalam sejarah
Arab, fiksi yang menyebar di kalangan masyarakat Arab periode pra dan awal
Islam hanya berbentuk folklor. Kesadaran orang Arab terhadap fiksi dalam bentuk
tulisan agaknya baru muncul setelah dipengaruhi kisah yang terdapat dalam
al-Qur’an dan khazanah peradaban yang dikenalnya lewat penerjemahan naskah
asing pada periode Abbasyiah. Tradisi sastra dalam sejarah Arab awal adalah
tradisi puisi.
Pada mulanya
prosa arab memiliki beberapa ciri khas antara lain; kalimat yang diuntai
ringkas, mempunyai lafadz yang jelas, serta mempunyai makna yang mendalam,
serta bersajak. Adapun macam-macamnya meliputi:
1.
Orasi / khutbah
Orasi atau
khutbah adalah serangkaian perkataan yang jelas dan lugas yang disampaikan
kepada khalayak ramai dalam rangka menjelaskan suatu perkara penting. Yang
digunakan untuk mempengaruhi, momotivasi, atau mempertahankan pendapat sendiri.
Biasanya munculnya khutbah atau orasi pada beriode jahiliyyah disebabkan oleh
banyaknya perang antara kabilah, kesemrawutan politik, buta huruf, serta saling
membanggakan nasab dan adat itiadat.
2.
Wasiat
Wasiat adalah nasihat seseorang yang akan meninggal dunia atau akan
berpisah dengan seseorang yang dicintainya dalam rangka permohonan untuk
mengerjakan sesuatu.
3.
Hikmah (kata mutiara)
Hikmah atau
kata-kata mutiara adalah ucapan kalimat yang ringkas yang menyentuh yang
bersumber dari pengalaman hidup yang dalam, didalamnya terdapat ide yang lugas
dan nasihat yang bermanfaat. Terkadang kata mutiara juga terdapat pada sebuah
syi’ir.
4.
Amtsal atau pribahasa
Amtsal atau
pribahasa adalah kalimat singkat yang diucapkan pada keadaan atau peristiwa
tertentu, digunakan untuk menyerupakan keadaan atau peristiwa tertentu. Kata
amtsal adalah bentuk jamak dari matsalun dan mitslun yang mengandung arti
bandingan, persamaan, padanan.
5.
Qishah (kisah)
Qasas
(kisah-kisah jahiliyah) adalah menceritakan hal-hal tentang nenek moyangnya,
kejadian yang luar biasa atau kejadian yang aneh maupun cerita tentang
peperangan.
6.
Risalah / kitabah
Pada masa jahiliyah
belum berkembang dunia tulis menulis, dikarenakan mengedepankan sastra lisan
dibandingkan satra tulis. Akan tetapi tulisan mulai tersebar dan berkembang
bersamaan dengan munculnya Islam. Ini terjadi ketika banyaknya tawanan pada
saat perlusan daerah islam yang mempunyai kemampuan menulis, sehingga mereka
yang tertawan dapat membebaskan dirinya dengan mengajar membaca dan menulis
untuk setiap tawanan sepuluh orang Arab. Dengan cara ini secara tidak langsung
orang-orang Arab berinteraksi bersama orang luar dan merekapun saling belajar.
Dan Rosulullah juga memerintahkan mereka untuk berlomba-lomba dalam
mempelajarinya.
Dalam
sejarah Arab, fiksi yang menyebar di kalangan masyarakat Arab periode pra dan
awal Islam hanya berbentuk folklor. Kesadaran orang Arab terhadap fiksi dalam
bentuk tulisan agaknya baru muncul setelah dipengaruhi kisah yang terdapat
dalam al-Qur’an dan khazanah peradaban yang dikenalnya lewat penerjemahan
naskah asing pada periode Abbasyiah. Tradisi sastra dalam sejarah Arab awal adalah
tradisi puisi.
Pada
zaman Arab pra-Islarn, puisi Arab menjadi fondasi utama dan dipandang sebagai
sandaran dalam kaidah berpuisi. Dari sudut pandang prosodic, secara praktik,
semua memang merujuk pada masa tersebut. Model puisi yang lazim pada masa itu
adalah puisi dengan enam belas irama dengan struktur bergabung, tanpa rima,
yang penggunaannya hanya dalam puisi-puisi serius saja. Akan tetapi, kemudian
terdapat sedikit inovasi, khususnya yang terjadi di wilayah Spanyol Islam pada
abad ke-ll, dengan model puisi bait yang di sana lebih dikenal dengan nama
muwashshah. Puisi-puisi dengan terna cinta dan kasih sayang, yang penuh dengan perumpamaan
gurun banyak disukai oleh sebagian besar penyair, dan gaya ini terus
berlangsung sampai pada dekade pertama abad ke-20. Genre yang sering ditulis
dan menjadi domain puisi zaman pra-Islam adalah : puji-pujian (fakhr), karangan
sindiran .{hija'), nyanyian (ritsd '), deskripsi (wash) dan puisi-puisi cinta
(ghazal).
Kelahiran
Nabi Muhammad saw telah menandai dimulainya era baru yang mengubah tatanan
hidup dan ideologi bangsa Arab yang dimulai dari Mekkah dan Madinah dengan
Alquran sebagai fondasi tatanan masyarakat tersebut. Kedatangan Islam dengan
Alquran sebagai fondasi utamanya, mampu memberikan pengaruh terhadap
perkembangan Prosa pada saat itu karena para penyair muslim generasi pertama
adalah orang-orang Arab yang berkarya dalam sebuah tradisi yang telah mempunyai
konvensi dan aturan yang mapan. Para penyair itu terpengaruh oleh sastra dan
keindahan Alquran.
Pada
abad ke-9 M, dalam sejarah prosa fiksi Arab lahirlah Kitab al-Bukhala (Kisah
Orang-Orang Kikir) dari Abu ‘Amr ‘Usman al-Jahiz (253 H/868 M), sebuah buku
yang hampir mirip dengan kumpulan cerpen realis. Kisah ini selama berabad-abad
tetap hidup dan menurut Thaha Husein merupakan karya klasik terbaik. Karya
anekdot ini berisi mengenai tokoh penguasa dan hakim, hingga orang kikir, para
pemitnah, realitas masa dan tempat-tempat tertentu yang pernah ditinggali
al-Jahiz. Sebagian tokoh-tokoh al-Bukhala adalah tokoh nyata dan terkenal yang
hidup pada masanya dan dikenal kikir. Misalnya Sahal bin Harun dan al-Kindi.
al-Jahiz dalam karyanya ini bukan saja menjelaskan kekikiran tokoh, melainkan
juga filosofi kekikirannya yang saat itu banyak dianut oleh sebagian teolog dan
filosuf. al-Jahiz dalam karyanya ini juga mengungkapkan upaya tokoh yang
diceritakannya dalam penginvestasian kekayaan. Sebab itu, ia bisa disebut
sebagai sastrawan realis pertama dalam sejarah sastra Arab.
Pada
abad berikutnya (ke-10), cerita berbingkai (cerbing) Alf Lailah wa Lailah
(Seribu Satu Malam) lahir dan menjadi cerita fenomenal. Karya abadi ini
merupakan kumpulan novel pendek yang jumlah halaman kisah-kisah utamanya yang
terkenal di atas 30 halaman. Dalam cerbing tersebut, antara satu kisah dengan
kisah lainnya saling berkaitan. Isinya mengenai hewan (fabel), percintaan,
cerita rakyat dan lainnya. Sumbernya dari berbagai kultur: India Persia, Mesir,
Yunani dan Arab. Namun telah disesuaikan dengan kehidupan dan adat istiadat
umum masyarakat Arab kala itu. Cerita yang dimuatnya melibatkan tokoh terkemuka
waktu itu, ulama, rakyat biasa, dan raja termasuk Harun ar-Rasyid. Aslinya,
cerbing ini dari India lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Persia dan kemudian
oleh al-Hazar Afsan atau al-Jasyiyari (w. 942) diterjemahkan dari bahasa Persia
ke dalam bahasa Arab. Ia dan juga penyusun berikutnya menambahkan beberapa
cerita (folklor) yang berkembang di Bagdad, terutama cerita lucu dan percintaan
dari istana Harun ar-Rasyid yang mewah.
Dari
kisah di atas kemudian dikembangkan pada periode berikutnya (abad ke-11-12)
dalam bentuk maqamat. Secara bahasa, maqamat berarti majlis pertemuan kabilah,
kelompok yang bertemu dan isi pembicaraan atau ceramahnya. Namun kemudian,
maqamat secara bahasa berarti gambaran suatu sessi di mana sejumlah orang
berbicara tentang subjek tertentu dengan cara salah seorang dari mereka
menuturkan sebuah kisah, lalu yang lain mengomentarinya. Dari makna itulah,
maqamat menjadi salah satu jenis sastra Arab berupa beberapa cerita pendek yang
membahas satu peristiwa yang diceritakan oleh seorang pencerita yang terjadi
pada individu atau kelompok sosial. Salah satu ciri yang menonjol dalam maqamat
adalah gaya bahasanya indah, di mana saja’ pendek sangat dominan. Secara isi,
maqamat berisi kritik individual atau sosial dan juga diselingi hal-hal lucu.
Pasca
abad ke-12, meskipun sastra Persia dan Turki berkembang di tangan Dinasti
Safawi (1501-1736 M), Mughal (1526-1258 M), dan Turki Usmani (1300-1924 M), tetapi
sebagaimana puisinya, fiksi Arab mengalami kemandekan. Dalam abad pertengahan
Islam ini tidak ada karya fiksi Arab yang menonjol sampai munculnya
sastrawan-sastrawan pembaharu pada periode modern. Sebagaimana yang terjadi
pada masa klasik, pada pasca terjemahan lahirlah prosa fiksi dari para prosais
pembaharu. Yang menonjol diantaranya adalah Muhammad al-Muwallihi (w. 1930)
yang pada tahun 1908
telah disinggung Dalam Hadis Isa bin Hisyam, al-Muwallihi mengungkapkan cerita
dengan tokoh pencerita Isa bin Hisyam sebagaimana tokoh dalam Maqamat
al-Hamadzani, tetapi tokoh utama yang diceritakan adalah Ahmad Basya
al-Manikili. Isa pergi ke kuburan untuk mengambil pelajaran, tetapi seorang
yang bernama al-Manikili dari seorang keturunan Turki keluar dari kuburnya. Ia
bersama al-Manikili kemudian pergi antara lain ke pos polisi, gedung parlemen,
dan pengadilan. Dari sana, ia mulai menceritakan kehidupan sosial modern di
Mesir seperti pedagang dan petaninya dan ia juga mengkritiknya. Salah satunya,
ia terheran-heran dengan pengadilan yang memihak pada pelaku kejahatan. Dengan
tokoh utamanya dari al-Manikili, seolah al-Muwallihi menceritakan realitas
Mesir kepada penguasa Mesir yang berkebangsaan Turki yang berkuasa saat itu,
Dinasti Muhammad Ali, lewat orang Turki sendiri.
Namun,
novel Arab yang paling diakui kritikus Barat sebagai novel Arab modern pertama
karena kecenderungan realisnya adalah novel Zainab dari Husein Haikal
(1888-1956), seorang yang juga dikenal sebagai wartawan dan pemikir terkemuka.
Novel ini terbit tahun 1913. Selain itu, novel yang cukup berpengaruh adalah
novel Sarah, sebuah novel semi autobiografi dari Abbas Mahmud al-‘Aqqad
(1889-1973).
Selain itu,
salah satu karya sastra abad kedua puluh yang masih terus digemari di dunia
Arab, bahkan hingga kini adalah autobiografi Thaha Husain (w. 1973), al-Ayyam.
Taha Husein adalah seorang sastrawan, sarjana, penulis Mesir dan tokoh
modernisasi terkemuka di dunia Arab yang melahirkan beberapa karya. Antara lain
Syajarah al-Bu’s (Pohon Penderitaan), karya realis sebuah keluarga. Daya pikat
al-Ayyam-nya adalah seorang anak tuna netra Mesir berhasil mengatasi hambatan
sosial dan pendidikannya, hingga diangkat menjadi guru besar di sebuah
universitas modern di Kairo. Dia belajar ke Perancis dan kembali ke negeri
asalnya, Mesir, dengan menyandang gelar Doktor dan membawa seorang istri
berkebangsaan Perancis. Cacat penglihatannya dan perbedaan budaya antara
tradisi dan kemodernan, Timur dan Barat, yang dialaminya memperkuat unsur
dramatis karya tersebut.
Karya sastra
yang mempunyai sistem yang terdiri atas unsur yang saling berhubungan. Untuk
mengetahui kaitan antar unsur dalam sebuah karya sastra itu sangat tepat jika
penelaah teks sastra diawali dengan pndekatan structural. Hal ini menandakan
bahwa pendekatan ini mudah dipahami dan dilaksanakan dalam pengkajian sastra.
Pendekatan structural lahir karena terdapat beberapa alasan atau sebab. Salah
satu diantaranya adalah adanya pendekatan tradisional yang masih mementingkan
peniru alam sebagai alasan utama teciptanya sebuah karya sastra.
Perkembangan
structural yang digunakan dalam analisis karya sastra adalah analisis
structural yang berfokus pada teks itu sendiri. Jadi dalam suatu karya prosa
yang berfokus pada teksnya ada beberapa unsure yang harus diketahui yaitu;
tema, tokoh dan penokohan, alur, setting, amanat, tata bahasa dan sudut
pandang.
Jadi,
meski tradisi sastra Arab klasik bukan prosa, tetapi prosa imaginatif (prosa
fiksi) Arab mulai berkembang sejak masa akhir Dinasti Umayyah (661-750). Faktor
yang mempengaruhinya tampaknya adalah Qur’an sendiri yang mengandung banyak
cerita dan juga penerjemahan fiksi asing dari bahasa Persia. Prosa fiksi Arab
kemudian berkembang pesat. Kitab al-Bukhala yang berisi sejenis cerpen realis
karya al-Jahidz adalah fiksi pertama yang lahir dan diikuti kemudian oleh
lahirnya kumpulan novel-novel pendek Alf Lailah wa Lailah yang abadi hingga
kini. Selanjutnya, muncullah jenis fiksi maqamat di tangan al-Hamz|ani dan
al-Hariri. Sebagaimana Alf Lailah wa Lailah, maqamat ini ungul dengan bentuk
cerita berbingkainya. Hanya saja, bedanya adalah bahwa sejenis cerpen yang
dikandungnya bersifat realis, berisi kritik individual dan sosial, diselingi
hal-hal lucu, dan gaya bahasanya yang penuh dengan sajak pendek.
Dari
sejarah perkembangan sastra Arab tersebut terlihat bahwa karya prosa, modern
lebih cenderung pada pemotretan realitas sosial daripada ekspresi idealisme
para pengarangnya. Jadi, sastra realisme menjadi tampak dominan dalam
perkembangan sastra Arab modern itu. Dalam tataran serniotik, tampak jelas
bahwa sastrawan Arab lebih condong ke praktik textual subjectivism, yang
berpandangan bahwa teks sebuah karya sastra hanya dapat dipahami dan
dikembangkan melalui subjektivitas pembacanya. Artinya, pembaca menginginkan adanya keterkaitan antara teks
sastra dengan realitas sosial, yang pada gilirannya sastra Arab tidak hanya
berada dalam dunia imajinasi belaka. Sastra Arab harus menjadi kontributor dan
pemberi solusi atas persoalan nyata yang dihadapi bangsa Arab, sekecil apa pun
kontribusi dan solusi itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar