Rabu, 15 Maret 2017

KONTAK ILMU PENGETAHUAN DAN PERADABAN ISLAM



I. PENDAHULUAN
Dalam perkembangannya Filsafat Islam telah melahirkan pemikiran-pemikiran yang khas dalam bidang hidup dan kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta. Dan berkembang pula berbagai macam sistem berpikir yang bercorak filsafat. Macam-macam sistem berfikir yang menghasilkan bermacam-macam pula pandangan filsafat dalam masalah hidup dan kehidupan manusia itu, sedikit banyknya tentu berpengaruh dalam pendidikan atau setidak-tidaknya memberikan corak tertentu terhadap pelaksanaan pendidikan[1].
Filsafat Islam memiliki sejarah perjalanan yang cukup panjang. Ia dibangun di atas pondasi filsafat Yunani, sehingga bahan-bahan yang digunakan dalam memformulasikan sistemnya adalah sebagaimana bahan-bahan yang digunakan dalam memformulasikan sistem filsafat Yuanani. Namun demikian, bukan berarti filsafat Islam sama persis dengan filsafat Yunani. Filsafat Islam dirumuskan dari bahan-bahan yang digunakan oleh sistem filsafat Yunani, sementara filsafat Yunani dirumuskan dengan logika, maka filsafat Islam mesti bersentuhan dengan logika. Karenanya, kami pemakalah akan membahas mengenai kontak antara Islam dan Ilmu Pengetahuan serta Filsafat Yunani.

II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Hakikat Islam, Ilmu Pengetahuan serta Filsafat Yunani?
B. Bagaimana hubungan antara Islam dan Yunani ?












III. PEMBAHASAN

A. Hakikat Islam, Ilmu Pengetahuan serta Filsafat Yunani

a. Islam

Kata “Islam”, menurut pandangan umum yang berlaku biasanya mempunyai konotasi dengan diartikan sebagai “agama Allah”. Agama Allah berarti jalan Allah, yaitu jalan menuju kepada-Nya dan bersumber dari pada-Nya.
Secara etimologis, kata Islam memang memiliki banyak pengertian, antara lain:
1. Kata Islam yang berasal dari bahasa Arab أسلم, يسلم, dengan pengertian menyerahkan diri, menyelamatkan diri, taat, patuh dan tunduk.”
2. Kalau dilihat dari segi kata dasar سلم mengandung pengertian antara lain selamat, sejahtera, sentosa, bersih dan bebas dari cacat/cela.
3. Sedangkan kalau dilihat dari kata dasar salam maka akan berarti damai, aman dan tenteram.[2]
Dengan demikian kalau dirangkumkan pengertian Islam tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: “Menempuh jalan keselamatan, dengan jalan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan dan melaksanakan dengan penuh kepatuhan dan ketaatan akan segala ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh-Nya, untuk mencapai kesejahteraan dan kesentosaan hidup dengan penuh keamanan dan kedamaian”[3].
Seorang Muslim adalah orang atau seseorang yang menyerahkan dirinya secara sungguh-sungguh kepada Allah. Pengertian ini dapat kita rujuk pada Al-Qur’an, misalnya QS. Al-An’am: 79


“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan.”  (Q.S. Al-An’am ayat 79 )
Dari ayat di atas, dapat dijelaskan bahwa “wujud pribadi muslim” itu adalah manusia yang mengabdikan dirinya kepada Allah, tunduk dan patuh serta ikhlas dalam amal perbuatannya, karena iman kepadanya[4].

b. Ilmu Pengetahuan
Istilah Ilmu Pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science, yang berasal dari bahasa latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari, mengetahui.
Sedangkan ilmu pengetahuann menurut beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa Ilmu Pengetahuan adalah suatu pengetahuan tentang objek tertentu yang disusun secara sistematis sebagai hasil penelitian dengan menggunakan metode tertentu. Atau bisa juga, Ilmu Pengetahuan adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren (bertalian) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan.[5]
Adapun menurut Bahm, bangunan dasar (pokok) Ilmu Pengetahuan melibatkan enam macam komponen, yaitu: adanya masalah (Problem), adanya sikap ilmiah (Scientific attitude), menggunakan metode ilmiah (Scientific method), adanya aktifitas ilmiah (Scientific activity), adanya kesimpulan (conclusion), adanya pengaruh (effect).[6]
Kemudian pemahaman Ilmu Pengetahuan dari segi sejarah perkembangannya terbagi menjadi 3 periode, yakni:
1. Periode pra Yunani Kuno
Catatan mengenai peradaban manusia yang paling awal tercatat berasal dari Timur Tengah, persisnya Mesir. Pada jaman pra sejarah, nenek moyang manusia modern di Mesir sudah mengenal bahasa, terbukti dengan peninggalan tulisan-tulisan yang diukir di batu-batu dalam goa. Sejarah mencatat bahwa bangsa Mesir kuno sudah mengenal ilmu bintang, ilmu bumi, arsitektur dan sebagainya. Bangsa Mesir kemudian juga mengembangkan papyrus (sejenis kulit kayu) yang dijadikan bahan tulis (tahun 3000 sebelum Masehi).
Adapun ciri-ciri ilmu pengetahuan pada zaman ini sebagai berikut:
a.  Know how bagaimana cara berbuat) dalam kehidupan sehari-hari yang didasrakan pada pengalaman.
b.  Pengetahuan yang berdasarkan pengalaman itu diterima sebagai fakta dengan sikap reseptif mind, keterangan masih dihubungkan dengan kekuatan magic.
c. Kemampuan menemukan abjad dan sistim bilangan alam sudah menampakkan perkembangan pemikiran manusia ke atas abstraksi.
d.  Kemampuan menulis, berhitung, menyusun kalender yang didasarkan atas sintesa terhadap hasil abstraksi yang dilakukan.
e.   Kemampuan meramal suatu peristiwa atas dasar peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi. Misalnya gerhana bulan dan matahari.[7]
2. Periode Yunani Kuno
Pada zaman ini dianggap sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 
a. Pada masa ini orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide-ide atau pendapatnya. 
b.Masyarakat pada masa ini tidak lagi mempercayai mitologi-mitologi yang dianggap sebagai suatu bentuk pseudo-rasional. 
c.  Masyarakat tidak dapat menerima pengalaman yang didasarkan pada sikap reseptif attitude (sikap menerima begitu saja) melainkan menumbuhkan sikap an inquiring attitude (suatu sikap yang senang menyelidiki sesuatu secara kritis) sikap belakangan inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya ilmu pengetahuan modern. Sikap kritis inilah yang menjadikan bangsa Yunani tampil sebagai ahli pikir-ahli pikir terkenal sepanjang masa.[8]
3. Zaman Pertengahan
Zaman pertengahan atau yang disebut Middle Age ditandai dengan tampilnya para theolog di lapangan ilmu pengetahuan di belahan dunia eropa. Para ilmuwan pada masa ini hampir semua para theolog, sehingga aktifitas ilmiah terkait dengan aktifitas keagamaan yaitu agama Kristen, atau dengan kata lain, kegiatan ilmiah diarahkan untuk mendukung kebenaran agama. Semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah Ancilla Theologia (abdi agama).
Sebaliknya di dunia Timur terutama Negara-negara Islam justru terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat. Kalau di daerah Barat pada zaman pertengahan lebih berkutat pada masalah-masalah keagamaan, maka berbeda dengan peradaban dunia Islam yang saat itu melakukan penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosof yunani dan berbagai temuan di lapangan ilmiah lainya. Dan masa ini dikenal sebagai Islamic Golden Age ( Masa Keemasan Islam ). Sebelum kita lanjut bahasannya lebih dalem, ada baiknya kita harus tau dulu kapan sebetulnya Islamic Golden Age itu?.
Jadi yang dimaksud dengan Zaman Keemasan Islam itu adalah sebuah periode ketika Dunia Arab secara politis bersatu di bawah kekhalifahan. Pada era ini, khususnya di bawah pemerintahan Harun Al Rasyid dan Al Ma’mun, dunia Islam mengalami kemajuan ilmu pengetahuan, sains, dan budaya yang luar biasa pesat. Secara tradisional, periode ini punya rentang antara abad 8 Masehi hingga abad 13 Masehi. Banyak ahli sejarah yang punya pendapat bahwa periode ini juga ditandain sama waktu berdirinya Bayt Al-Hikmah (750 -- 1258) yang merupakan pusat studi, perpustakaan, sekaligus universitas terbesar di dunia pada saat itu. Pada periode yang cukup panjang ini (sekitar 500 tahun), bisa dikatakan tidak ada peradaban lain di muka bumi yang bisa menandingi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam, dari mulai Eropa, Cina, India, semuanya salut dengan kegigihan kekhalifahan yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan melebihi peradaban manapun pada masa itu.[9]           
Sumber lain menyebutkan bahwa sebagian besar karya ilmu-ilmu populer ditemui oleh orang Islam melalui dorongan dari orang-orang Kristen Nestoria, khususnya para penerjemah dari Siria. Melalui saluran ini sebagian besar ilmu pengetahuan Yunani seperti ilmu pengetahuan kealaman, matematika astronomi, geografi dan kedokteran, dapat dijumpai orang-orang Islam. Khususnya dalam bidang kedokteran, sumbangan yang besar diberikan oleh Akademi Jundishapur yang dipimpin oleh dokter-dokter Yahudi dan Kristen.[10]
Melalui kegiatan penerjemahan itu para cendikiawan Muslim dapat menguasai berbagai disiplin ilmu pengeteahuan dan filsafat, dan mereka berusaha menambahkan kedalamnya hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam lapangan filsafat. Dengan demikian tidaklah tepat pendapat sebagian penelitian Barat yang cenderung memperkecil peranan kaum Muslimin, dimana mereka menganggap bahwa kaum Muslimin hanyalah sebagai penyalin, penerjemah, atau paling tidak sebagai penyarah dan komentator.

c. Filsafat Yunani
Filsafat Yunani sering disebut dengan filsafat Barat. Istilah filsafat Barat adalah sebutan yang digunakan untuk pemikiran-pemikiran filsafat dalam dunia Barat atau Occidental. Pada umumnya, filsafat terdiri dari dua garis besar, yaitu filsafat Barat dan filsafat Timur. filsafat Barat berbeda dengan filsafat Timur atau oriental. Permulaan dari sebutan filsafat Barat ini dari keinginan untuk mengarah kepada pemikiran atau falsafah peradaban Barat.
Tujuh abad pra-Islam dunia sudah diduduki oleh mekarnya kebudayaan Yunani dengan tradisi penikiran kefilsafatannya. Kebudayaan Yunani yang dominan dengan olah rasionya (filsafat) sesungguhnya merupakan respon atas tantangan zamannya yang sarat dengan tradisi mitos, magic, dan sihir. Dalam tahapan selanjutnya, reasonansi kebudayaan Yunani ini mampu menembus wilayah Timur Tengah (Persia), di bawah penaklukan Alexander Agung di tahun 331 SM. Pasca Alexander, kebudayaan Yunani terus berkembang di Timur di bawah era hellenistik dan Romawi.[11]


B. Kontak antara Islam dan Yunani dalam bidang Ilmu Pengetahuan
Alexander Yang Agung mengalahkan Darius di tahun 331 S.I.  (Sebelum Islam) Di Arbela (sebelah timur Tigris). Alexander dating dengan tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia, tetapi sebaliknya ia berusaha untuk menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Ia kawin dengan Statira, anak Darius dan pada waktu itu juga 24 dari jenderal-jenderalnya dan 10.000 prajurit kawin atas anjurannya dengan wanita-wanita Persia. Selain dari mengadakan hubungan-hubungan perkawinan ia dirikan pula kota-kota dan koloni-koloni yang penduduknya diatur begitu rupa sehingga terdiri dari dua golongan Yunani dan Persia.
Setelah Alexander meninggal, kerajaannya yang besar itu terbagi tiga: Macedonia di Eropa, Kerajaan Ptolemeus di Mesir dengan Alexandria sebagai ibu kota, dan Kerajaan Seleucid (Seleucus) di Asia dengan kota-kota penting Antioch di Siria, Seleucia di Mesopotamia dan Bactra di Persi sebelah timur. Ptolemeus dan Seleucus berusaha meneruskan politik Alexander untuk menyatukan kedua peradaban Yunani dan Iran. Sungguhpun usaha itu tak berhasi, kebudayaan dan peradaban Yunani meninggalkan bekas besar di daerah-daerah ini. Bahasa administrasi yang dipakai di sana ialah bahasa Yunani. Di Mesir dan Siria bahasa ini tetap dipakai sesudah masuknya Islam ke dalam kedua daerah itu dan hanya baru ditukar dengan bahasa Arab di abad ke-7 oleh Khalifah Bani Umayyah A. Malik ibnu Marwan (685-705 M), Khlaifah ke-5 dari Bani Umayyah. Alexandria, Antioch, dan Bactra kemudian menjadi pusat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani.[12]
Sementara itu di India dan Persia, peradaban kuno di sana sudah muali maju juga. Pada 800 SM, seorang filsuf bernama Baudhyana, telah memikirkan konsep dasar teorema Pythagoras. Dalam dunia astronomi, kitab Vedenga Jyotisa sudah membicarakan masalah perhitungan kalender, pengukuran astronomis, dan penetapan aturan-aturan dasar observasi benda langit. Kemudian angka yg kita pakai sekarang ini (0-9) awalnya dikembangkan oleh matematikawan India di jaman dinasti Maurya. Sementara itu, konsep angka 0 (nol) sendiri juga pertama kali dikembangin oleh Aryabhata (kira-kira 500 M) yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Al Khwarizmi (780-850 M) dan Al Kindi (801-873 M). Jadi banyak yang sekarang salah sangka bahwa angka ini disebutnya “angka Arab”, harusnya yang bener itu “angka Hindu-Arab”.
Sebagian orang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan Ilmu Pengetahuan dari agama Islam. Memisahkan antara ilmu kauniyah (alam semesta) dari wahyu. Padahal dalam pandangan Islam keduanya adalah merupakan satu kesatuan. Kebenaran yang ada di alam semesta dikonfirmasikan lewat wahyu, demikian pula sebaliknya kebenaran wahyu dapat dibuktikan melalui kenyataan yang ada di alam semesta, karena memang berasal dari sumber yang satu yaitu Allah.
Agama pada umumnya mempunyai ajaran-ajaran yang diyakini turun kepada masyarakat manusia melalui wahyu, dalam arti bahwa ajaran-ajaran itu berasal dari Tuhan yang maha mengetahui dan oleh karena itu bersifat benar dan tidak berubah-ubah sekalipun masyarakat manusia berubah menurut perkembangan zaman. Ilmu pengetahuan sebaliknya tidak kenal dan tidak terikat pada waktu. Ilmu pengetahuan berpijak dan terikat pada pemikiran rasional. Itulah sebabnya secara populer orang mengatakan bahwa agama bermula dari percaya, sedang ilmu bermula dari tidak percaya. Akan tetapi meskipun titik berangkatnya berbeda, tidaklah berarti antara agama dan ilmu itu dalam posisi yang bertentangan. Kalau agama mempunyai nilai kebenaran mutlak maka ilmu yang sifatnya kebenarannya relatif adalah merupakan alat bagi manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran itu. Dengan menggunakan kekuatan daya pikir dan dengan hati nuraninya manusia dapat menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya secara baik yaitu beramal shaleh. Atau dengan kata lain bahwa ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal shaleh yaitu amal yang dituntut oleh ajaran agama terhadap pemeluknya.
Sejalan dengan itulah Islam memandang kegunaan dan peranan ini sehingga tidak membuat garis pemisah antar agama dan ilmu. Agama adalah nilai-nilai panutan yang memberi pedoman pada tingkah laku manusia dan pandangan hidupnya, ilmu adalah sesuatu hasil yang dicapai oleh manusia berkat bekal kemampuan-kemampuannya sebagai anugerah dari Tuhan Maha Pencipta. Ilmu tidak dibekalkan sebagai barang jadi, ilmu harus dicari dan untuk ikhtiar mencari ilmu ini Tuhan membekali manusia dengan berbagai kemampuan yang memang kodratnya sesuai dengan keinginan untuk mengetahui apa saja.[13]
Harun al-Rasyid menjadi khlaifah di tahun 786 M, dan sebelumnya ia belajar di Persia di bawah asuhan Yahya ibnu Khalid ibnu Barmak dan dengan demikian banyak dipengaruhi oleh kegemaran Keluarga Barmak pada ilmu pengetahuan dan falsafat. Di bawah pemerintahan Harun al-Rasyid, penerjemahan buku-buku pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab pun dimulai. Pada mulanya yang dipentingkan adalah buku-buku mengenai kedokteran, tetapi kemudian juga mengenai ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan lain dan falsafah. Buku-buku itu diterjemahkan terlebih dahulu ke dalam bahsa Siria, bahasa ilmu pengetahuan di Mesopotamia di waktu itu, kemudian baru ke dalam bahasa Arab. Akhirnya penerjemahan diadakan langsung ke dalam bahasa Arab.
Penerjemah-penerjemah termasyhur dari zaman itu antara lain adalah:
1.       Hunayn ibnu Ishaq (wafat 873 M), seorang Kristen yang pandai bebahasa Arab dan yunani (pernah berkunjung ke Yunani). Ia terjemahkan 20 buku Galen ke dalam bahasa Siria dan 14 buku lain ke dalam bahasa Arab. Menurut keterangan, Hunayn mempunyai pembantu dan murid dalam kegiatan penerjemahan ini.
2.       Anak Hunayn bernama Ishaq (wafat 910 M).
3.       Sabit ibnu Qurra (825-901 M), seorang penyembah bintang.
4.       Qusta ibnu Luqa, seorang Kristen.
5.       Hubays kemenakan Hunayn.
6.       Abu Bisr Matta ibnu Yunus (939 M), juga seorang Kristen.
Dengan kegiatan penerjemahan ini, sebagian besar dari karangan-karangan Aristiteles, sebagian tertentu dari karangan-karangan mengenai neoplatonisme, sebagian besar dari karangan-karangan Galen serta karangan-karangan dalam ilmu kedokteran lainnya, dan juga karangan-karangan mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya dapatlah dibaca oleh alim ulama Islam.[14]
Maka dapatlah dimengerti mengapa Islam sejak dini sekali menganggap perlunya intregasi antara agama dan ilmu dan sekaligus menempatkan orang-orang yang beriman dan berilmu pada posisi yang lebih tinggi. Hal ini dinyatakan dalam Firman Allah:
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadalah: 11).





























C. KESIMPULAN
Sebagian pemaparan diatas merupakan pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dari Yunani, India, dan Persia yang memberikan kontribusi yang besar kepada perkembangan ilmu pengetahuan kekhalifahan zaman keemasan Islam. Penerjemahan yang dilakukan pada zaman ke Khalifahan Abasyiah, merupakan awal dari terwujudnya Islamic Golden Age. Dari buku-buku yang diterjemahkan oleh Bayt Al-Hikmah, kemudian para ilmuwan muslim berusaha menambahkan didalamnya hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam lapangan filsafat. Dengan begitu terbantahlah pendapat yang dikemukana oleh sebagian ilmuawan barat yang cenderung memperkecil peranan kaum muslim dalam sejarah perkembangan Ilmu Pengetahuan.



D. DAFTAR PUSTAKA
[1] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009
[2] Dr. Marzuki,. Konsep Agama Islam, PDF,
[3] As-Said ,Muhammad, Filsafat Pendidikan Islam, Mitra, Pustaka, Yogyakarta, 2011
[4] Adib, Mohammad,. Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011
[5] Ihsan, Fuad,. Filsafat Ilmu, PT Rineka Cipta, , Jakarta, 2010
[6] Nasution, Harun,. Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta 2010, Hlm 4
 


          [1] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hlm. 137.

          [2] Dr. Marzuki M.Ag, Konsep Agama Islam, PDF, hlm 38
          [3] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hlm 35
        [4] Muhammad As-Said, Filsafat Pendidikan Islam, Mitra, Pustaka, Yogyakarta, 2011, hlm. 30-31

        [5] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm. 17.

         [6] Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, PT Rineka Cipta, , Jakarta, 2010, hlm. 110

          [7] Isna Antasari, Kronologis historis sejarah dan perkembangan ilmu pengetahuan, PDF, hlm 40
         [8] Isna Antasari, Kronologis historis sejarah dan perkembangan ilmu pengetahuan, PDF, hlm 46
         [9] Isna Antasari, Kronologis historis sejarah dan perkembangan ilmu pengetahuan, PDF, hlm 65
        [10] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta 2010, Hlm 4
        [11] Maftukhin, Filsafat Islam, Teras, Yogyakarta,  2012, hlm. 56
        [12] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta 2010, Hlm 3
          [13] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hlm. 58
        [14] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta 2010, Hlm 4