I. PENDAHULUAN
Dalam perkembangannya Filsafat Islam
telah melahirkan pemikiran-pemikiran yang khas dalam bidang hidup dan kehidupan
manusia dan dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta. Dan berkembang
pula berbagai macam sistem berpikir yang bercorak filsafat. Macam-macam sistem
berfikir yang menghasilkan bermacam-macam pula pandangan filsafat dalam masalah
hidup dan kehidupan manusia itu, sedikit banyknya tentu berpengaruh dalam
pendidikan atau setidak-tidaknya memberikan corak tertentu terhadap pelaksanaan
pendidikan[1].
Filsafat Islam memiliki sejarah
perjalanan yang cukup panjang. Ia dibangun di atas pondasi filsafat Yunani,
sehingga bahan-bahan yang digunakan dalam memformulasikan sistemnya adalah
sebagaimana bahan-bahan yang digunakan dalam memformulasikan sistem filsafat
Yuanani. Namun demikian, bukan berarti filsafat Islam sama persis dengan
filsafat Yunani. Filsafat Islam dirumuskan dari bahan-bahan yang digunakan oleh
sistem filsafat Yunani, sementara filsafat Yunani dirumuskan dengan logika,
maka filsafat Islam mesti bersentuhan dengan logika. Karenanya, kami pemakalah
akan membahas mengenai kontak antara Islam dan Ilmu Pengetahuan serta Filsafat
Yunani.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Hakikat Islam, Ilmu
Pengetahuan serta Filsafat Yunani?
B. Bagaimana hubungan antara Islam
dan Yunani ?
III. PEMBAHASAN
A. Hakikat Islam, Ilmu Pengetahuan
serta Filsafat Yunani
a. Islam
Kata “Islam”, menurut pandangan umum
yang berlaku biasanya mempunyai konotasi dengan diartikan sebagai “agama
Allah”. Agama Allah berarti jalan Allah, yaitu jalan menuju kepada-Nya dan
bersumber dari pada-Nya.
Secara etimologis, kata Islam memang
memiliki banyak pengertian, antara lain:
1. Kata Islam yang berasal dari bahasa
Arab أسلم, يسلم, dengan pengertian menyerahkan diri,
menyelamatkan diri, taat, patuh dan tunduk.”
2. Kalau dilihat dari segi kata
dasar سلم mengandung pengertian antara lain
selamat, sejahtera, sentosa, bersih dan bebas dari cacat/cela.
3. Sedangkan kalau dilihat dari kata
dasar salam maka akan berarti damai, aman dan tenteram.[2]
Dengan demikian kalau dirangkumkan
pengertian Islam tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: “Menempuh jalan
keselamatan, dengan jalan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan dan
melaksanakan dengan penuh kepatuhan dan ketaatan akan segala
ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh-Nya, untuk mencapai
kesejahteraan dan kesentosaan hidup dengan penuh keamanan dan kedamaian”[3].
Seorang Muslim adalah orang atau
seseorang yang menyerahkan dirinya secara sungguh-sungguh kepada Allah.
Pengertian ini dapat kita rujuk pada Al-Qur’an, misalnya QS. Al-An’am: 79
“Sesungguhnya aku menghadapkan
diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada
agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan
tuhan.” (Q.S. Al-An’am ayat 79 )
Dari ayat di atas, dapat dijelaskan
bahwa “wujud pribadi muslim” itu adalah manusia yang mengabdikan dirinya kepada
Allah, tunduk dan patuh serta ikhlas dalam amal perbuatannya, karena iman
kepadanya[4].
b. Ilmu Pengetahuan
Istilah Ilmu Pengetahuan diambil
dari kata bahasa Inggris science, yang berasal dari bahasa latin scientia dari
bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari, mengetahui.
Sedangkan ilmu pengetahuann menurut
beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa Ilmu Pengetahuan adalah suatu pengetahuan
tentang objek tertentu yang disusun secara sistematis sebagai hasil penelitian
dengan menggunakan metode tertentu. Atau bisa juga, Ilmu Pengetahuan adalah
pengetahuan metodis, sistematis dan koheren (bertalian) tentang suatu bidang
tertentu dari kenyataan.[5]
Adapun menurut Bahm, bangunan dasar
(pokok) Ilmu Pengetahuan melibatkan enam macam komponen, yaitu: adanya masalah
(Problem), adanya sikap ilmiah (Scientific attitude), menggunakan metode ilmiah
(Scientific method), adanya aktifitas ilmiah (Scientific activity), adanya
kesimpulan (conclusion), adanya pengaruh (effect).[6]
Kemudian pemahaman Ilmu Pengetahuan
dari segi sejarah perkembangannya terbagi menjadi 3 periode, yakni:
1. Periode pra Yunani Kuno
Catatan mengenai peradaban manusia yang paling awal tercatat berasal
dari Timur Tengah, persisnya Mesir. Pada jaman pra sejarah, nenek moyang
manusia modern di Mesir sudah mengenal bahasa, terbukti dengan peninggalan
tulisan-tulisan yang diukir di batu-batu dalam goa. Sejarah mencatat bahwa
bangsa Mesir kuno sudah mengenal ilmu bintang, ilmu bumi, arsitektur dan
sebagainya. Bangsa Mesir kemudian juga mengembangkan papyrus (sejenis kulit
kayu) yang dijadikan bahan tulis (tahun 3000 sebelum Masehi).
Adapun ciri-ciri ilmu pengetahuan pada zaman
ini sebagai berikut:
a. Know how bagaimana cara berbuat) dalam kehidupan
sehari-hari yang didasrakan pada pengalaman.
b. Pengetahuan yang berdasarkan pengalaman itu diterima
sebagai fakta dengan sikap reseptif mind,
keterangan masih dihubungkan dengan kekuatan magic.
c. Kemampuan menemukan abjad dan sistim bilangan alam sudah
menampakkan perkembangan pemikiran manusia ke atas abstraksi.
d. Kemampuan menulis, berhitung, menyusun kalender yang
didasarkan atas sintesa terhadap hasil abstraksi yang dilakukan.
e. Kemampuan meramal suatu peristiwa atas dasar
peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi. Misalnya gerhana bulan dan
matahari.[7]
2. Periode
Yunani Kuno
Pada zaman ini dianggap sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Pada masa ini orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan
ide-ide atau pendapatnya.
b.Masyarakat pada masa ini tidak lagi mempercayai mitologi-mitologi
yang dianggap sebagai suatu bentuk pseudo-rasional.
c.
Masyarakat tidak dapat menerima pengalaman yang didasarkan pada sikap reseptif attitude (sikap menerima begitu
saja) melainkan menumbuhkan sikap an inquiring
attitude (suatu sikap yang senang menyelidiki sesuatu secara kritis) sikap
belakangan inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya ilmu pengetahuan modern.
Sikap kritis inilah yang menjadikan bangsa Yunani tampil sebagai ahli
pikir-ahli pikir terkenal sepanjang masa.[8]
3. Zaman
Pertengahan
Zaman pertengahan atau yang disebut Middle
Age ditandai dengan tampilnya para theolog di lapangan ilmu pengetahuan di
belahan dunia eropa. Para ilmuwan pada masa ini hampir semua para theolog,
sehingga aktifitas ilmiah terkait dengan aktifitas keagamaan yaitu agama
Kristen, atau dengan kata lain, kegiatan ilmiah diarahkan untuk mendukung
kebenaran agama. Semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah Ancilla
Theologia (abdi agama).
Sebaliknya di dunia Timur terutama
Negara-negara Islam justru terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat
pesat. Kalau di daerah Barat pada zaman pertengahan lebih berkutat pada
masalah-masalah keagamaan, maka berbeda dengan peradaban dunia Islam yang saat
itu melakukan penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosof yunani
dan berbagai temuan di lapangan ilmiah lainya. Dan masa ini dikenal sebagai Islamic
Golden Age ( Masa Keemasan Islam ). Sebelum kita lanjut bahasannya lebih
dalem, ada baiknya kita harus tau dulu kapan sebetulnya Islamic Golden Age itu?.
Jadi yang dimaksud dengan Zaman Keemasan
Islam itu adalah sebuah periode ketika Dunia Arab secara politis bersatu di
bawah kekhalifahan. Pada era ini, khususnya di bawah pemerintahan Harun Al
Rasyid dan Al Ma’mun, dunia Islam mengalami kemajuan ilmu pengetahuan, sains,
dan budaya yang luar biasa pesat. Secara tradisional, periode ini punya rentang
antara abad 8 Masehi hingga abad 13 Masehi. Banyak ahli sejarah yang punya
pendapat bahwa periode ini juga ditandain sama waktu berdirinya Bayt Al-Hikmah
(750 -- 1258) yang merupakan pusat studi, perpustakaan, sekaligus universitas
terbesar di dunia pada saat itu. Pada periode yang cukup panjang ini
(sekitar 500 tahun), bisa dikatakan tidak ada peradaban lain di muka bumi yang
bisa menandingi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam, dari
mulai Eropa, Cina, India, semuanya salut dengan kegigihan kekhalifahan yang
menjunjung tinggi ilmu pengetahuan melebihi peradaban manapun pada masa itu.[9]
Sumber lain menyebutkan bahwa sebagian besar
karya ilmu-ilmu populer ditemui oleh orang Islam melalui dorongan dari
orang-orang Kristen Nestoria, khususnya para penerjemah dari Siria. Melalui
saluran ini sebagian besar ilmu pengetahuan Yunani seperti ilmu pengetahuan
kealaman, matematika astronomi, geografi dan kedokteran, dapat dijumpai
orang-orang Islam. Khususnya dalam bidang kedokteran, sumbangan yang besar
diberikan oleh Akademi Jundishapur yang dipimpin oleh dokter-dokter Yahudi dan
Kristen.[10]
Melalui kegiatan
penerjemahan itu para cendikiawan Muslim dapat menguasai berbagai disiplin ilmu
pengeteahuan dan filsafat, dan mereka berusaha menambahkan kedalamnya
hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan ilmu
pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam lapangan filsafat. Dengan demikian
tidaklah tepat pendapat sebagian penelitian Barat yang cenderung memperkecil
peranan kaum Muslimin, dimana mereka menganggap bahwa kaum Muslimin hanyalah
sebagai penyalin, penerjemah, atau paling tidak sebagai penyarah dan
komentator.
c. Filsafat Yunani
Filsafat Yunani sering disebut
dengan filsafat Barat. Istilah filsafat Barat adalah sebutan yang digunakan
untuk pemikiran-pemikiran filsafat dalam dunia Barat atau Occidental. Pada
umumnya, filsafat terdiri dari dua garis besar, yaitu filsafat Barat dan
filsafat Timur. filsafat Barat berbeda dengan filsafat Timur atau oriental.
Permulaan dari sebutan filsafat Barat ini dari keinginan untuk mengarah kepada
pemikiran atau falsafah peradaban Barat.
Tujuh abad pra-Islam dunia sudah
diduduki oleh mekarnya kebudayaan Yunani dengan tradisi penikiran
kefilsafatannya. Kebudayaan Yunani yang dominan dengan olah rasionya (filsafat)
sesungguhnya merupakan respon atas tantangan zamannya yang sarat dengan tradisi
mitos, magic, dan sihir. Dalam tahapan selanjutnya, reasonansi kebudayaan
Yunani ini mampu menembus wilayah Timur Tengah (Persia), di bawah penaklukan
Alexander Agung di tahun 331 SM. Pasca Alexander, kebudayaan Yunani terus
berkembang di Timur di bawah era hellenistik dan Romawi.[11]
B. Kontak antara Islam dan Yunani
dalam bidang Ilmu Pengetahuan
Alexander Yang Agung mengalahkan
Darius di tahun 331 S.I. (Sebelum Islam) Di Arbela (sebelah timur
Tigris). Alexander dating dengan tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan
Persia, tetapi sebaliknya ia berusaha untuk menyatukan kebudayaan Yunani dan
Persia. Ia kawin dengan Statira, anak Darius dan pada waktu itu juga 24 dari
jenderal-jenderalnya dan 10.000 prajurit kawin atas anjurannya dengan
wanita-wanita Persia. Selain dari mengadakan hubungan-hubungan perkawinan ia
dirikan pula kota-kota dan koloni-koloni yang penduduknya diatur begitu rupa
sehingga terdiri dari dua golongan Yunani dan Persia.
Setelah Alexander meninggal,
kerajaannya yang besar itu terbagi tiga: Macedonia di Eropa, Kerajaan Ptolemeus
di Mesir dengan Alexandria sebagai ibu kota, dan Kerajaan Seleucid (Seleucus)
di Asia dengan kota-kota penting Antioch di Siria, Seleucia di Mesopotamia dan
Bactra di Persi sebelah timur. Ptolemeus dan Seleucus berusaha meneruskan
politik Alexander untuk menyatukan kedua peradaban Yunani dan Iran. Sungguhpun
usaha itu tak berhasi, kebudayaan dan peradaban Yunani meninggalkan bekas besar
di daerah-daerah ini. Bahasa administrasi yang dipakai di sana ialah bahasa Yunani.
Di Mesir dan Siria bahasa ini tetap dipakai sesudah masuknya Islam ke dalam
kedua daerah itu dan hanya baru ditukar dengan bahasa Arab di abad ke-7 oleh
Khalifah Bani Umayyah A. Malik ibnu Marwan (685-705 M), Khlaifah ke-5 dari Bani
Umayyah. Alexandria, Antioch, dan Bactra kemudian menjadi pusat ilmu
pengetahuan dan filsafat Yunani.[12]
Sementara itu di India dan Persia, peradaban
kuno di sana sudah muali maju juga. Pada 800 SM, seorang filsuf
bernama Baudhyana, telah memikirkan konsep dasar teorema Pythagoras. Dalam
dunia astronomi, kitab Vedenga Jyotisa sudah membicarakan masalah perhitungan
kalender, pengukuran astronomis, dan penetapan aturan-aturan dasar observasi
benda langit. Kemudian angka yg kita pakai sekarang ini (0-9) awalnya
dikembangkan oleh matematikawan India di jaman dinasti Maurya. Sementara
itu, konsep angka 0 (nol) sendiri juga pertama kali dikembangin oleh Aryabhata
(kira-kira 500 M) yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Al
Khwarizmi (780-850 M) dan Al Kindi (801-873 M). Jadi banyak yang sekarang salah
sangka bahwa angka ini disebutnya “angka Arab”, harusnya yang bener itu “angka
Hindu-Arab”.
Sebagian orang mempunyai
kecenderungan untuk memisahkan Ilmu Pengetahuan dari agama Islam. Memisahkan
antara ilmu kauniyah (alam semesta) dari wahyu. Padahal dalam pandangan Islam
keduanya adalah merupakan satu kesatuan. Kebenaran yang ada di alam semesta
dikonfirmasikan lewat wahyu, demikian pula sebaliknya kebenaran wahyu dapat
dibuktikan melalui kenyataan yang ada di alam semesta, karena memang berasal
dari sumber yang satu yaitu Allah.
Agama pada umumnya mempunyai
ajaran-ajaran yang diyakini turun kepada masyarakat manusia melalui wahyu,
dalam arti bahwa ajaran-ajaran itu berasal dari Tuhan yang maha mengetahui dan
oleh karena itu bersifat benar dan tidak berubah-ubah sekalipun masyarakat
manusia berubah menurut perkembangan zaman. Ilmu pengetahuan sebaliknya tidak
kenal dan tidak terikat pada waktu. Ilmu pengetahuan berpijak dan terikat pada
pemikiran rasional. Itulah sebabnya secara populer orang mengatakan bahwa agama
bermula dari percaya, sedang ilmu bermula dari tidak percaya. Akan tetapi
meskipun titik berangkatnya berbeda, tidaklah berarti antara agama dan ilmu itu
dalam posisi yang bertentangan. Kalau agama mempunyai nilai kebenaran mutlak
maka ilmu yang sifatnya kebenarannya relatif adalah merupakan alat bagi manusia
untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran itu. Dengan menggunakan
kekuatan daya pikir dan dengan hati nuraninya manusia dapat menemukan
kebenaran-kebenaran dalam hidupnya secara baik yaitu beramal shaleh. Atau
dengan kata lain bahwa ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal shaleh
yaitu amal yang dituntut oleh ajaran agama terhadap pemeluknya.
Sejalan dengan itulah Islam
memandang kegunaan dan peranan ini sehingga tidak membuat garis pemisah antar
agama dan ilmu. Agama adalah nilai-nilai panutan yang memberi pedoman pada
tingkah laku manusia dan pandangan hidupnya, ilmu adalah sesuatu hasil yang
dicapai oleh manusia berkat bekal kemampuan-kemampuannya sebagai anugerah dari
Tuhan Maha Pencipta. Ilmu tidak dibekalkan sebagai barang jadi, ilmu harus
dicari dan untuk ikhtiar mencari ilmu ini Tuhan membekali manusia dengan
berbagai kemampuan yang memang kodratnya sesuai dengan keinginan untuk
mengetahui apa saja.[13]
Harun al-Rasyid menjadi khlaifah di
tahun 786 M, dan sebelumnya ia belajar di Persia di bawah asuhan Yahya ibnu
Khalid ibnu Barmak dan dengan demikian banyak dipengaruhi oleh kegemaran
Keluarga Barmak pada ilmu pengetahuan dan falsafat. Di bawah pemerintahan Harun
al-Rasyid, penerjemahan buku-buku pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab pun
dimulai. Pada mulanya yang dipentingkan adalah buku-buku mengenai kedokteran,
tetapi kemudian juga mengenai ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan lain dan
falsafah. Buku-buku itu diterjemahkan terlebih dahulu ke dalam bahsa Siria,
bahasa ilmu pengetahuan di Mesopotamia di waktu itu, kemudian baru ke dalam
bahasa Arab. Akhirnya penerjemahan diadakan langsung ke dalam bahasa Arab.
Penerjemah-penerjemah termasyhur
dari zaman itu antara lain adalah:
1.
Hunayn ibnu
Ishaq (wafat 873 M), seorang Kristen yang pandai bebahasa Arab dan yunani
(pernah berkunjung ke Yunani). Ia terjemahkan 20 buku Galen ke dalam bahasa
Siria dan 14 buku lain ke dalam bahasa Arab. Menurut keterangan, Hunayn
mempunyai pembantu dan murid dalam kegiatan penerjemahan ini.
2.
Anak Hunayn
bernama Ishaq (wafat 910 M).
3.
Sabit ibnu
Qurra (825-901 M), seorang penyembah bintang.
4.
Qusta ibnu
Luqa, seorang Kristen.
5.
Hubays
kemenakan Hunayn.
6.
Abu Bisr
Matta ibnu Yunus (939 M), juga seorang Kristen.
Dengan kegiatan penerjemahan ini,
sebagian besar dari karangan-karangan Aristiteles, sebagian tertentu dari
karangan-karangan mengenai neoplatonisme, sebagian besar dari karangan-karangan
Galen serta karangan-karangan dalam ilmu kedokteran lainnya, dan juga
karangan-karangan mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya dapatlah dibaca oleh
alim ulama Islam.[14]
Maka dapatlah dimengerti mengapa
Islam sejak dini sekali menganggap perlunya intregasi antara agama dan ilmu dan
sekaligus menempatkan orang-orang yang beriman dan berilmu pada posisi yang
lebih tinggi. Hal ini dinyatakan dalam Firman Allah:
“Hai orang-orang beriman apabila
kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
(QS. Al-Mujadalah: 11).
C. KESIMPULAN
Sebagian pemaparan diatas merupakan pengaruh
perkembangan ilmu pengetahuan dari Yunani, India, dan Persia yang memberikan
kontribusi yang besar kepada perkembangan ilmu pengetahuan
kekhalifahan zaman keemasan Islam. Penerjemahan yang dilakukan pada zaman
ke Khalifahan Abasyiah, merupakan awal dari terwujudnya Islamic Golden Age.
Dari buku-buku yang diterjemahkan oleh Bayt Al-Hikmah, kemudian para ilmuwan
muslim berusaha menambahkan didalamnya hasil-hasil penyelidikan yang mereka
lakukan sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka
dalam lapangan filsafat. Dengan begitu terbantahlah pendapat yang dikemukana
oleh sebagian ilmuawan barat yang cenderung memperkecil peranan kaum muslim
dalam sejarah perkembangan Ilmu Pengetahuan.
D. DAFTAR PUSTAKA
[1] Zuhairini, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009
[2] Dr. Marzuki,. Konsep Agama Islam, PDF,
[3] As-Said ,Muhammad, Filsafat Pendidikan Islam, Mitra,
Pustaka, Yogyakarta, 2011
[4] Adib, Mohammad,. Filsafat Ilmu (Ontologi,
Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan), Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2011
[5] Ihsan, Fuad,. Filsafat Ilmu, PT Rineka Cipta, ,
Jakarta, 2010
[6] Nasution, Harun,. Falsafat dan Mistisme dalam Islam,
Bulan Bintang, Jakarta 2010, Hlm 4